SEWAKTU saya kelas 2 SMP, hari pertama mata pelajaran Matematika belum ada gurunya. Untuk sementara, yang mengisi matematika pada hari berikutnya adalah pak guru komputer, yaitu Pak Harto –yang baru setahun ini almarhum. Uniknya, saat (almarhum) pak Harto pertama kali ngajar, beliau malah menanyai murid-murid apakah pelajaran terakhir yang diingat waktu kelas 1. Pertama dipanggil murid perempuan, seingat saya Oktaliana. Kemudian Oktaliana diberi kewenangan untuk memilih teman pria yang diketahui nomor urutnya. Apesnya, yang diinget Oktaliana itu yang nomor urut terakhir, akhirnya saya yang maju. Dua hari kemudian datanglah guru matematika itu. Guru matematika yang baru, benar-benar baru. Masih muda banget. Saya jadi inget Oom ku yang di Klaten. Wah hla kok, ternyata, bapak muda itu memang asalnya dari Klaten –tepatnya di daerah Rumah Sakit Islam itu.

Hari pertama itu saya yakin banget, pak Warsono sangat amat nervous ngajarnya. Kami sekelas jadi geli dengan tingkah lakunya yang serba salah tingkah. Menulis di blackboard dengan huruf-huruf yang sangat kecil. Lalu menghapus tulisan kapur dengan tangan. Ada teman yang berani teriak di kelas agar tulisannya jangan kecil-kecil, tapi sama juga –beliau malah menulisnya dengan lebih kecil lagi. Pak Warsono kelihatan banget seperti baru lulus dari pendidikan guru, dan ...logatnya sangat amat Klaten. Karena interaksi saya dengan leluhur dari Klaten bisa membedakan mana bahasa jawa ala Karanganyar atau Klaten, even Solo sekalipun (ketika kuliah jadi bisa membedakan lagi mana Jawa ala Jogja). Hari itu berlangsung dengan riuh rendah, atau mungkin ”kacau” lebih tepatnya. Sewaktu pak Warsono datang, sekolahan kami memang kedatangan banyak guru baru. Ada bu Endang guru bahasa Indonesia, pak Sumarso guru menggambar, lalu pak Edi bahasa daerah, dsbnya. Tapi pak Warsono-lah yang kelihatan paling unik. Hari besuknya.... mata pelajaran matematika kosong. Apa beliau takut menghadapi kelas –gak tahu juga saya.

Sepertinya itu berlangsung di akhir pekan, sehingga butuh beberapa hari lagi untuk ketemu dengan mata pelajaran matematika. Akhirnya hari itu datang juga. Tapi agak beda, hari kedua pak Warsono mengajar –beliau mengisinya dengan perfect. Bahkan bercerita kalau kemarin saat hari pertama memang banyak kelemahan. Tapi benar-benar yang kedua itu beliau mengisi dengan sangat percaya diri.

Hari-hari berlangsung dengan cepat, bagi saya, mata pelajaran matematika adalah yang paling menyenangkan. Bayangkan ketika lulus SD, NEM saya untuk matematika adalah 5,86 (inget banget karena mengecewakan banget), untungnya ketemu pak Warsono. Saya katakan ke beliau, ”Pak seumurumur saya belum pernah mendapat nilai 9 untuk matematika,”. Dengan bilang begitu saja, beliau tahu maksudnya, saya mendapatkan nilai 9 untuk matematika di kelas 2 SMP semester 2 (karena sehabis itu gak pernah lagi).

Suatu saat pak Warsono memberikan kesempatan kepada kami sekelas untuk memberikan pesan, kesan, dan saran untuk mata pelajaran yang diampu. Ketika dibacakan –salahsatunya tulisan saya yang tidak bernama- kebanyakan mengatakan bahwa beliaulah guru yang paling merakyat. Pendekatannya memang beda, didatangi satu persatu siswanya di tiap meja –dan menanyakan kalau ada keluhan.
Pak Warsono figur yang tidak pernah marah. Kami sekelas mengingat wajahnya seperti Doel Sumbang. Pernah suatu saat temen belakang mejaku –Amos namanya- membuat joke dengan mengutip iklan lagu Selecta Pop (atau sebangsa itulah) dengan mengatakan, ”Doel Sumbang, apanya yang sumbang....”. Tapi kok, blaik, pak Warsono malah denger. Dengan berjalan gontai -yang menjadi ciri khasnya- dia malah menimpali dengan, ”...yang jelas bukan suaranya ya Mas.” Lagi-lagi malah mengutip pembicaraannya MC Selecta Pop. Sekelas jadi ngakak. Saya kalau mengingat kejadian itu jadi ketawa sendiri. Bisa-bisanya pak Warsono itu.

Singkatan CBSA yang sebenarnya ”cara belajar siswa aktif”, atau malah ”catat buku sampai abis” bagi pak Warsono adalah Cara Belajar Semua Aktif, sehingga guru juga aktif –nggak cuma siswanya saja. Suatu saat pernah kami malah disuruh membikin soal matematika, kemudian ditukarkan satu dengan yang lain, dan beliau yang memilih tingkat kesukarannya. Apa mungkin karena masih muda ya sehingga sepertinya kami sekelas jadi cair hubungannya. Waktu kami kelas tiga –padahal pak Warsono ngajar kelas dua- kedatangan pak Warsono tetap dinanti karena beliau sering ikut menjaga anak-anak yang kelas 2 dan 1 melakukan senam. Dulu waktu pak Warsono pakai kacamata untuk pertama kalinya, seingat saya di”suit-suit” (disiulin) teman-teman dari mulai 3A sampai 2D (jangan-jangan sampai 2A juga hehe). Bukannya marah karena anak-anak dianggap kurang ajar, tetapi beliau malah senyum-senyum (apakah karena beliau pemalu orangnya, i dont know).

Pernah ada kejadian, ketika itu saya sudah SMA dan mata pelajarannya adalah olahraga. Weh hla kok pak Warsono jalan kaki melewati SMA kami (mungkin ada kegiatan diklat), kontan kami menyapa, ”Pak Warsono.... Pak Warsono....”, terutama yang siswa perempuan yang bersahutan. Waktu itu guru olahraga langsung mengsetrap kami untuk keliling sekolahan –mungkin karena dianggap melecehkan pelajaran yang sedang berjalan. Terakhir saya ketemu pak Warsono tahun 1999 –atau 2000 mungkin. Waktu itu kami ada rencana try out untuk siswa SMP. Beliau masih seperti yang dulu: ramah. Dan dari ngobrol waktu itu saya baru tahu ternyata istri pak Warsono adalah kakaknya temen seangkatanku SMP. What a such small world.

Figur yang ramah dan menyenangkan semacam pak Warsono kadang dimanfaatkan. Bagi saya yang merasa dekat dan akrab, pak Warsono sering saya ’manfaatkan’ untuk nitip salam ke adik kelas hehehe. Tapi beliau terkesan bangga malahan, dan di hari berikutnya cerita bahwa ’tugas’ tersebut telah dilaksanakan dengan baik. Hari ahad kemarin, 10 Mei 2009, saya mendapat sms yang mengabarkan bahwa beliau telah meninggal. Seandainya tahun 1989 itu beliau masih berumur 25 tahun, so sekarang paling baru 45. Mengutip kata-kata Shakespeare, ”All good men are dying young”. Saya yakin sinyalemen itu berlaku padanya. Dia orang baik. Sebaik upayanya untuk selalu memperbaiki diri agar baik, dan siswa menerima dengan baik pelajaran. Sebaik caranya untuk menjelaskan matematika. Almarhum Soe Hok Gie menyatakan, “Keberuntungan pertama adalah tidak dilahirkan di dunia. Keberuntungan kedua adalah mati muda”. Ahhh mungkin tidak perlu serumit itu, pak Warsono orang yang mudah memandang dunia ini. Tidak serumit persamaan logaritma di tangannya. Beliau membuat matematika menjadi demikian mudah. Semoga dimudahkan juga urusan di akhirat. Amien. Selamat jalan Pak. To God we belong to God we return (innalillahi wa inna ilaihi rajiun).

7 comments:

  1. Anonymous said...

    Pak Warsono msk smp 1 tahun brp ya? Saya msk smp 1 taon 1980. Kalo pak Harto sih kenal baik, beliau dulu guru elektronika (untuk beliau berdua, smg Allah SWT memberikan tempat yg baik di sisi-Nya). Untuk mengenang SMAN 1 Kra silakan baca di sini.
    Ohya, alumni smp 1 taon 1983, punya milis sendiri di KCK@yahoogroups.com. Berita meninggalnya pak Warsono, sempat jg di kabarkan di milis ini.

  2. Jojo_cOoL said...

    Pak warsono, okay!!! Semangat guru PKN gokil,,hehehehe...

  3. aji said...

    banyak kenangan dengan beliau....

  4. dNoxs said...

    Kenangan yang indah ..

  5. Anonymous said...

    Memang guru di sma yang kenangannya masih jelas bgt yach Pak Warsono

  6. yuniandono achmad said...

    pak warsono mulai jadi Guru tahun 1989 Mas

  7. ary said...

    derek tepang kulo ary dwi widiantono alumni 1987-1989



Copyright 2008| Blogger Templates by Blogcrowds